KETIKA Lebaran semakin mendekat, warga kota yang berasal dari kampung bersiap-siap untuk melakukan perjalanan pulang ke kampung halaman. Aktivitas seperti ini populer disebut dengan mudik. Maka, suasana jalan tol akan begitu penuh sesak dipadati aneka ragam kendaraan mobil dan motor. Karena di hari Lebaran, mereka berharap sekali untuk dapat berkumpul dengan keluarga, saudara, teman karib, dan suasana perkampungan yang begitu segar udaranya.
Gejala mudik di bulan Puasa ini merupakan fenomena sosial-keagamaan yang menggambarkan keseragaman rasa, karsa dan cipta warga di bumi pertiwi. Sebab, hampir setiap tahun peristiwa pulang kampung (baca: mudik) dilakukan masyarakat untuk dapat berlebaran di tanah tempat silsilah keluarganya bermuara hingga menjadi tradisi rutinitas
tahunan. Suatu tradisi nan agung yang diproduksi oleh warga di Indonesia , karena di Timur Tengah, misalnya Arab Saudi, tidak terdapat tradisi mudik ke kampung halaman ketika Idulfitri menghampiri.
Di dalam tradisi mudik, tercermin suatu makna perennial bahwa setiap orang menghendaki atau mengharapkan kembalinya diri ke tempat asal-muasal. Tidaklah heran jika pemudik rela menempuh perjalanan panjang meskipun berjarak ratusan kilometer karena hendak bertemu dengan sanak famili. Bahkan, hanya untuk dapat menghirup udara segar pedesaan; pemudik rela antre berjam-jam di loket bus, stasiun kereta api, bahkan ada yang berani menyewa taksi
segala. Pengorbanan tersebut adalah salah satu pertanda bahwa mudik sangatlah penting dalam denyut nadi kita.
Selain untuk memperlihatkan keberhasilan yang telah dicapai, prosesi mudik juga kerap dilakukan untuk mengembalikan jati diri kemanusiaan. Sebab, motif dari tradisi mudik yang diajarkan nenek moyang kita adalah untuk mengembalikan jati diri kemanusiaan yang telah lama dijibuni atmosfer modernitas yang menyingkirkan rasa kemanusiaan sehingga kita berubah wujud menjadi manusia yang mendewakan materi sementara itu ikatan kolektif luntur seketika dan mengakibatkan pecahnya integrasi bangsa.
Spiritualitas mudik
Nurcholish Madjid (2000) memaknai Idulfitri sebagai suatu tradisi agung yang dilakukan berulang-ulang setiap tahun dalam daur ulang ruang dan waktu. Landasan epistemologis tesis demikian, ia ambil dari pengertian etimologis kata "idul" yang berderivasi dengan kata "adat" yang berarti kebiasaan yang berulang-ulang dilakukan umat manusia.
Sedangkan "fithri" adalah kesucian diri hingga dirinya bersih dari segala laku lampah yang dapat mengotori jiwanya. Maka, makna dari "idulfitri" adalah hari dimana manusia memperoleh kesucian diri yang terulang-ulang kejadiannya pada tiap tahun dalam hitungan kalender Hijriyah (menurut bulan Qomariyah).
Selain berdimensi spiritualitas, terdapat aneka manfaat yang akan diperoleh pemudik ketika dirinya berusaha kembali dari perantauan ke kampung halaman. Misalnya, dia akan merasa dekat kembali dengan warga di pedesaan sehingga muncul rasa peduli terhadap kondisi kampung halaman yang telah sedemikian tertinggal dan terisolir. Jadi, dengan melaksanakan mudik, eksistensi warga yang memiliki keluarga di pedesaan akan diuji untuk memfungsikan rasa kemanusiaannya hingga terasa (karasa tur kariksa) oleh masyarakat.
Individu warga kampung "bau lisung" adalah sederet kata yang kerap digunakan untuk menyebutkan keluguan dan kepolosan warga yang berasal dari desa-desa tertinggal. Ketika ada seorang warga yang merasa aneh dengan kemajuan kota dan dia tidak tahu apa-apa hingga banyak bertanya; warga di Sunda akan menyebutnya dengan: "jalma udik" atau primitif. Stigma demikian menggambarkan bahwa seorang warga dari kampung yang datang ke kota akan merasa sangat asing dengan suasananya sehingga berubah menjadi manusia yang diliputi ketidaktahuan.
Namun jika telah lama tinggal di kota , dia akan berubah menjadi manusia yang "kotaan" dan tidak "kampungan" lagi. Alhasil perilaku yang dibawanya dari kampung yang terkategori "udik" atau primitif akan menghilang tergantikan oleh perilaku glamourisme yang dihembuskan lifestyle warga kota . Perilaku tenang, kalem, jujur, mementingkan orang lain dan fatalistis yang terbentuk di kampung kini berganti menjadi "ngota" yang agresif, tidak sabaran, korup, dan individualistik. Maka, dengan melaksanakan mudik setidak-tidaknya warga imigran yang dahulu disebut "udik" akan menempa diri untuk kembali kepada keluhuran sikap dan tingkah laku warga desa yang sering disebut dengan "jalma udik".
Oleh karena itu, gerak kembali ke asal (kampung) merupakan proses pengembalian segala laku lampah umat manusia menuju perilaku polos dari dosa dan noda yang disebarkan hawa panas kemajuan material kota yang sedemikian menggila. Seorang pejabat di instansi pemerintahan, umpamanya, akan menempa diri untuk kembali kepada perilaku "udik" warga pedesaan yang tidak berani mengambil hak milik orang lain. Sebab, dalam kata mudik dan "udik" terkandung arti bahwa perilaku asali manusia mesti mencerminkan kepolosan, keluguan dan kejujuran bagaikan seorang warga kampung tak tahu apa-apa (bau lisung) yang tidak berani berbuat korup karena takut berbenturan dengan etika agama (tata darigama).
Makna ekonomis
Dengan tradisi mudik yang berkembang, warga seakan hendak mengamalkan tesis "ergo sum" milik Descartes yang berarti memperlihatkan eksistensi kediriannya kepada warga desa dan sanak famili. Bukan itu saja, dengan tradisi mudik pun seorang warga yang telah lama berimigrasi (nyaba) di kota-kota besar akan merasakan nikmatnya kembali ke jati diri yang asli. Sebab, dari sudut pandang psikologi, gejala mudik memuat keberbagaian makna yang dapat dijadikan terapi bagi keresahan jiwa (tension relief) manusia modern sebagai imbas dari segala problem kehidupan modern yang cenderung melelahkan.
Jika diperhatikan secara saksama, dalam tradisi mudik terdapat manfaat ekonomis bagi warga, karena para pemudik seringkali membawa oleh-oleh untuk dibagikan. Selain itu, kita juga bisa menyaksikan perilaku pemudik yang kerap memberikan "angpao", berinfak, dan memberikan hadiah kepada warga yang berdiam diri di kampung. Bahkan, anehnya lagi ketika pemerintah mengeluarkan kebijakan naiknya tarif bus, kereta api, pesawat terbang, dan kapal laut beberapa persen saja; pemudik seolah menerimanya dengan lapang dada.
Bukan hanya itu, dengan tradisi mudik juga pendapatan daerah akan meningkat karena pemudik banyak membelanjakan uangnya untuk membeli suvenir, makanan khas daerah, dan mengeluarkan pajak kendaraan. Seorang pengusaha dan karyawan yang lahir di desa-desa terisolasi pun akan menyadari bahwa tanah kelahirannya memerlukan uluran tangan dengan aneka ragam pemberdayaan yang dapat mengangkat harkat, derajat dan martabat mereka. Jadi, secara eksistensial para pemudik akan tetap eksis di mata, hati, dan pikiran warga pedesaan karena telah memberikan sumbangsih kemajuan bagi mereka.
Semoga dengan tradisi kembali ke tempat asal ini menjadi titik awal bagi kita untuk memulai aktivitas hidup di kemudian hari dengan laku lampah yang jujur, transformatif, konstruktif, dan yang paling utama adalah bisa meringankan beban penderitaan warga desa yang jarang diperhatikan pemerintah.
Gejala mudik di bulan Puasa ini merupakan fenomena sosial-keagamaan yang menggambarkan keseragaman rasa, karsa dan cipta warga di bumi pertiwi. Sebab, hampir setiap tahun peristiwa pulang kampung (baca: mudik) dilakukan masyarakat untuk dapat berlebaran di tanah tempat silsilah keluarganya bermuara hingga menjadi tradisi rutinitas
tahunan. Suatu tradisi nan agung yang diproduksi oleh warga di Indonesia , karena di Timur Tengah, misalnya Arab Saudi, tidak terdapat tradisi mudik ke kampung halaman ketika Idulfitri menghampiri.
Di dalam tradisi mudik, tercermin suatu makna perennial bahwa setiap orang menghendaki atau mengharapkan kembalinya diri ke tempat asal-muasal. Tidaklah heran jika pemudik rela menempuh perjalanan panjang meskipun berjarak ratusan kilometer karena hendak bertemu dengan sanak famili. Bahkan, hanya untuk dapat menghirup udara segar pedesaan; pemudik rela antre berjam-jam di loket bus, stasiun kereta api, bahkan ada yang berani menyewa taksi
segala. Pengorbanan tersebut adalah salah satu pertanda bahwa mudik sangatlah penting dalam denyut nadi kita.
Selain untuk memperlihatkan keberhasilan yang telah dicapai, prosesi mudik juga kerap dilakukan untuk mengembalikan jati diri kemanusiaan. Sebab, motif dari tradisi mudik yang diajarkan nenek moyang kita adalah untuk mengembalikan jati diri kemanusiaan yang telah lama dijibuni atmosfer modernitas yang menyingkirkan rasa kemanusiaan sehingga kita berubah wujud menjadi manusia yang mendewakan materi sementara itu ikatan kolektif luntur seketika dan mengakibatkan pecahnya integrasi bangsa.
Spiritualitas mudik
Nurcholish Madjid (2000) memaknai Idulfitri sebagai suatu tradisi agung yang dilakukan berulang-ulang setiap tahun dalam daur ulang ruang dan waktu. Landasan epistemologis tesis demikian, ia ambil dari pengertian etimologis kata "idul" yang berderivasi dengan kata "adat" yang berarti kebiasaan yang berulang-ulang dilakukan umat manusia.
Sedangkan "fithri" adalah kesucian diri hingga dirinya bersih dari segala laku lampah yang dapat mengotori jiwanya. Maka, makna dari "idulfitri" adalah hari dimana manusia memperoleh kesucian diri yang terulang-ulang kejadiannya pada tiap tahun dalam hitungan kalender Hijriyah (menurut bulan Qomariyah).
Selain berdimensi spiritualitas, terdapat aneka manfaat yang akan diperoleh pemudik ketika dirinya berusaha kembali dari perantauan ke kampung halaman. Misalnya, dia akan merasa dekat kembali dengan warga di pedesaan sehingga muncul rasa peduli terhadap kondisi kampung halaman yang telah sedemikian tertinggal dan terisolir. Jadi, dengan melaksanakan mudik, eksistensi warga yang memiliki keluarga di pedesaan akan diuji untuk memfungsikan rasa kemanusiaannya hingga terasa (karasa tur kariksa) oleh masyarakat.
Individu warga kampung "bau lisung" adalah sederet kata yang kerap digunakan untuk menyebutkan keluguan dan kepolosan warga yang berasal dari desa-desa tertinggal. Ketika ada seorang warga yang merasa aneh dengan kemajuan kota dan dia tidak tahu apa-apa hingga banyak bertanya; warga di Sunda akan menyebutnya dengan: "jalma udik" atau primitif. Stigma demikian menggambarkan bahwa seorang warga dari kampung yang datang ke kota akan merasa sangat asing dengan suasananya sehingga berubah menjadi manusia yang diliputi ketidaktahuan.
Namun jika telah lama tinggal di kota , dia akan berubah menjadi manusia yang "kotaan" dan tidak "kampungan" lagi. Alhasil perilaku yang dibawanya dari kampung yang terkategori "udik" atau primitif akan menghilang tergantikan oleh perilaku glamourisme yang dihembuskan lifestyle warga kota . Perilaku tenang, kalem, jujur, mementingkan orang lain dan fatalistis yang terbentuk di kampung kini berganti menjadi "ngota" yang agresif, tidak sabaran, korup, dan individualistik. Maka, dengan melaksanakan mudik setidak-tidaknya warga imigran yang dahulu disebut "udik" akan menempa diri untuk kembali kepada keluhuran sikap dan tingkah laku warga desa yang sering disebut dengan "jalma udik".
Oleh karena itu, gerak kembali ke asal (kampung) merupakan proses pengembalian segala laku lampah umat manusia menuju perilaku polos dari dosa dan noda yang disebarkan hawa panas kemajuan material kota yang sedemikian menggila. Seorang pejabat di instansi pemerintahan, umpamanya, akan menempa diri untuk kembali kepada perilaku "udik" warga pedesaan yang tidak berani mengambil hak milik orang lain. Sebab, dalam kata mudik dan "udik" terkandung arti bahwa perilaku asali manusia mesti mencerminkan kepolosan, keluguan dan kejujuran bagaikan seorang warga kampung tak tahu apa-apa (bau lisung) yang tidak berani berbuat korup karena takut berbenturan dengan etika agama (tata darigama).
Makna ekonomis
Dengan tradisi mudik yang berkembang, warga seakan hendak mengamalkan tesis "ergo sum" milik Descartes yang berarti memperlihatkan eksistensi kediriannya kepada warga desa dan sanak famili. Bukan itu saja, dengan tradisi mudik pun seorang warga yang telah lama berimigrasi (nyaba) di kota-kota besar akan merasakan nikmatnya kembali ke jati diri yang asli. Sebab, dari sudut pandang psikologi, gejala mudik memuat keberbagaian makna yang dapat dijadikan terapi bagi keresahan jiwa (tension relief) manusia modern sebagai imbas dari segala problem kehidupan modern yang cenderung melelahkan.
Jika diperhatikan secara saksama, dalam tradisi mudik terdapat manfaat ekonomis bagi warga, karena para pemudik seringkali membawa oleh-oleh untuk dibagikan. Selain itu, kita juga bisa menyaksikan perilaku pemudik yang kerap memberikan "angpao", berinfak, dan memberikan hadiah kepada warga yang berdiam diri di kampung. Bahkan, anehnya lagi ketika pemerintah mengeluarkan kebijakan naiknya tarif bus, kereta api, pesawat terbang, dan kapal laut beberapa persen saja; pemudik seolah menerimanya dengan lapang dada.
Bukan hanya itu, dengan tradisi mudik juga pendapatan daerah akan meningkat karena pemudik banyak membelanjakan uangnya untuk membeli suvenir, makanan khas daerah, dan mengeluarkan pajak kendaraan. Seorang pengusaha dan karyawan yang lahir di desa-desa terisolasi pun akan menyadari bahwa tanah kelahirannya memerlukan uluran tangan dengan aneka ragam pemberdayaan yang dapat mengangkat harkat, derajat dan martabat mereka. Jadi, secara eksistensial para pemudik akan tetap eksis di mata, hati, dan pikiran warga pedesaan karena telah memberikan sumbangsih kemajuan bagi mereka.
Semoga dengan tradisi kembali ke tempat asal ini menjadi titik awal bagi kita untuk memulai aktivitas hidup di kemudian hari dengan laku lampah yang jujur, transformatif, konstruktif, dan yang paling utama adalah bisa meringankan beban penderitaan warga desa yang jarang diperhatikan pemerintah.
Sumber :http://www.duniaesai.com/index.php?option=com_content&view=article&id=351:mudik-kembalikan-jati-diri&catid=49:sosiologi&Itemid=93
SUKRON ABDILAH, pegiat Studi Agama dan Kearifan Lokal Sunda, Aktivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Jawa Barat
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2006/102006/31/wacana03.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan berkomentar, jangan sungkan ...