Pendekatan
Interdisipliner
adalah pendekatan dalam pemecahan suatu masalah dengan menggunakan tinjauan
berbagai sudut pandang ilmu serumpun yang relevan atau tepat guna secara
terpadu. Dalam pemecahan masalahannya di bidang ekonomi dengan interdisipliner
hanya dengan satu ilmu saja yang serumpun.
Dari sudut
ekonomi mikro di antaranya : dalam lingkup kecil “Rumah tangga” yang tidak
sedikit para rumah tangga mengalami permasalahan ekonomi khususnya pada masalah
kemiskinan, yang cara pemecahan masalahnya dengan salah satunya mencari
pekerjaan yang menjanjikan, bekerja keras, tidak putus asa, tidak boros dalam
artian tidak besar pasak dari pada tiang : besar pengeluaran dari pada
pendapatan.
Dari sudut
ekonomi makro diantaranya : dalam lingkup luas “Pemerintah” yang pernah
pemerintah mengeluarkan kebijakan menaikan BBM (bahan bakar minyak) dengan
tujuan tertentu, tetapi bagi para masyarakat kebijakan tersebut tidak lah
sesuai dengan kemampuan masyarakat, khusunya masyarakat awam/kecil. Sehingga kemiskinan
pun semakin merajalela. Pemecahan masalahnya dengan pemerintah harus bisa
melihat kebawah (masyarakat kecil), dan sejahterakan masyarakat.
Pendekatan
Multidisipliner
adalah pendekatan dalam pemecahan suatu masalah dengan
menggunakanberbagai sudut pandang banyak ilmu yang relevan. Jadi dalam
pemecahan masalah ekonomi dengan menggunakan ilmuilmu lainnya yang relevan.
Dari sudut
ilmu ekonomi, Ilmu ekonomi adalah suatu studi tentang bagaimana langkahnya
sumber-sumber dimanfaatkan untuk memenuhi keinginan-keinginan manusia yang
tidak terbatas. banyaknya “kemiskinan” khususnya di Negara kita
Indonesia, yang sulit untuk dipecahkan, karena kemiskinan itu semakin
berkembangnya Negara semakin banyak kemiskinan. Dan juga di Indonesia semakin
banyak penduduk dan semakin banyak tingkat kelahiran di setiap
tahunnya,sehingga terjadi kepadatan penduduk di Indonesia, masalahnya semakin
banyak warga Negara Indonesia semakin berkurang sumber daya Alamnya sehingga
menjadi tidak seimbang,antara kebutuhan dan manusiannya.
Dari sudut
ilmu psikologi, Ilmu psikologi adalah ilmu yang mempelajari perilaku-perilaku
manusia. Contohnya seperti di karawang secara psikologis apabila sudah panen
beras, maka dalam penggunaan uangnya secara boros, menghambur-hamburkan uang,
tidak sesuai dengan keperluan, itupun menjadi salah satu faktor ekonomi yang
dapat menimbulkan kemiskinan, cara memecahkan masalahnya yaitu dengan Rasional,
Hemat, jangan boros, mengguanakan uang seperlunya.
Dari sudut
ILmu politik, Ilmu politik adalah cara untuk mencari dan mempertahankan
kekuasaannya, dalam permasalahan ekonominya, pemerintah tidak jarang
membangun kantor baru, membangun bangunan yang tidak begitu di perlukan dalam
artian maka pemerintah telah berlaku tidak rasional, menghambur-hamburkan uang
rakyat, sehingga itulah salah satu faktor dari ilmu politik yang dapat
menimbulkan masalah kemiskinan, solusinya yaitu dengan merubah perilaku
pemerintah yang tadinya berlaku konsumtif menjadi rasional/hemat.
Dari sudut
Ilmu sosiologi, Ilmu sosiologi adalah mempelajari perilaku manusia dalam
kelompok-kelompok yang dapat dilihat dari bagaimana cara berinteraksi. Masalah
ekonominya seperti dalam pendidikan, tidak sedikit orang yang memprioritaskan
pendidikan, khususnya bagi masyarakat awam, yang lebih mementingkan bekerja di
bandingkan belajar samapi tingkat tinggi, karena salah satu faktornya yaitu
tidak mampub dalam hal financial, cara pemecahannya yaitu seharusnya lebih
mengutamakan pendidikan untuk masa depan. Tetapi apabila ingin menyeimbangkan
antara bekerja dengan belajar,boleh untuk bekerja dahulu untuk membiayai
pendidikannya,lalu memprioritaskan pendidikannya.
Pemecahan Masalah Kemiskinan Melalui Pendekatan
Multidisipliner dan Interdisipliner
Masalah
kemiskinan, merupakan tema ”peka” untuk dibicarakan, tetapi juga dianggap
masalah sementara yang akan terpecahkan dengan adanya pembangunan
ekonomi. Para pakar ilmu sosial mempunyai perhatian besar terhadap rumusan
kebijaksanaan-kebijaksanaan pembangunan ekonomi nasional (makro) yang apabila
berhasil akan dapat mengeyahkan kemiskinan dengan sendirinya. Yang perlu adalah
pendekatan interdisipliner untuk mengadakan penelitian, yang kemudian menyusun
rekomendasi terpadu untuk mengatasinya. Email Salim(1982) menyebutkan,
kemiskinan merupakan tema sentral dari perjuangan bangsa, dan motivasi
fundamental dari cita-cita menciptakan masyarakat adil dan makmur.
A.
Interdisipliner
Pada
umumnya, kemiskinan disebabkan oleh struktur ekonomi, maka terlebih dahulu kita
perlu memahami inti pokok dari “struktur” yakni realisasi hubungan antara
subjek dan objek, dan antara subjek-subjek komponen yang merupakan bagian dari
suatu sistem. Permasalahan struktur yang penting dalam hal ini adalah pola
relasi. Ini mencakup masalah kondisi dan posisi komponen(subjek) dari struktur
yang bersangkutan dalam keseluruhan tata susunan atau sistem dan fungsi dari
subjek atau komponen tersebut dalam keseluruhan fungsi dan sistem. Karena itu
perlu adanya pembangunan ekonomi untuk mengendalikan hal tersebut.
Pembangunan ekonomi merupakansuatuprosesevolusi.
Demikian selanjutnya, dalam pembangunan ekonomi,berusaha
memunculkan beberapa pola pandangan untuk upaya mengatasi dan
mengendalikan fenomena kemiskinan yang merupakan “tema peka” dan masalah
sentral. Beberapa pola pandangan ini mencoba mengatasi kelemahan dari
teori-teori yang telah ada sebelumnya. Pertama,
pendekatan ekologi,
misalnya saja, ialah mempercepat pembangunan, juga disertai kebijaksanaan tegas
dalam memelihara sumber-alam untuk generasi yang akan datang. Kedua, teori sumber daya yang mendorong
intensivitas modal yang dimilki. Dalam teori ini, meningkatkan mutu sumber
daya manusia dipandang sebagai kunci pembangunan yang menjamin kemajuan
ekonomi dan kesetabilan sosial, misalnya saja konsep pengembangan usaha
wiraswasta. Ketiga,
mulai dari yang paling
dibutuhkan. Pendekatan ini berusaha mengatasi
kecenderungan “yang kaya
makin kaya dan yang miskin makin miskin,” jadi perlu mendahulukan
mereka yang paling membutuhkan pertolongan. Pembangunan tidak dimulai
dari barang tetapi mulai dari manusia yakni dengan pendidikan,organisasi, dan
disiplinnya yang tinggi. Keempat,
pemerataan dan
pertumbuhan. Strategi ini tidak hanya melihat variabel ekonomi,
tetapi mencakup variabel politik, sosial dan kultural. Keenam, mencukupi kebutuhan
yang orientasinya selain pemenuhan kebutuhan pokok sanadang, pangan, dan papan
, tetapi juga pemenuhan kebut uhan lainnya. Konsep kebutuhan dasar
harus ditempatkan dalam keseluruhan pembangunan sosial ekonomi suatu
bangsa(Deklarasi ILO:1976). Terakhir,
mengurangi
ketergantungan yang orientasinya “kedalam” sebagai pengganti
strategi yang berorientasi “keluar”, dan impor dalam pembangunannya.Mengurangi
ketergantungan terhadap negara lain, hal ini untuk upaya membebaskan diri
dari dominansi negara asing.
Kemiskinan sebagai akibat pola relasi segala bidang sosial, politik, kultur, dan bersama-sama bidang ekonomi. Semuanya merupakan subsistem kemasyarakatan, termasuk didalamnya ilmu pengetahuan dan teknologi. Maka untuk mengendalikan segala akibat dari kaitan srtuktural ilmu pengetahuan, teknologi, dan kemiskinan tersebut perlu dilakukan pengendalian dengan asas moral , etika, serta ajaran agama, sehingga untuk mengetahui apa yang harus dan apa yang jangan dilakukan, dengan counter play sejati yang bersifat normatif dan transenden, yaitu Tuhan.
B.
Multidisipliner
Kemiskinan
adalah masalah yang tidak ada habisnya dibahas dari generasi ke generasi.
Apalagi pascakrisis moneter dan ekonomi yang meningkatkan jumlah penduduk
miskin di Indonesia secara cukup drastis. Membahas masalah kemiskinan secara
multidimensi, yang merupakan cara pandang yang digunakan dalam pendekatan
pembangunan sosial, yaitu melihat permasalahan dari dimensi mikro, mezzo maupun
makro. Strategi tersebut juga meliputi strategi untuk memperbaiki kondisi yang
ada melalui perubahan yang dilakukan pada dimensi makro, mezzo dan mikro, seperti
telah diuraikan sebelumnya.
Beberapa
Dimensi Yang Terkait Dengan
Kemiskinan
Dalam
melihat masalah kemiskinan secara multidimensional, maka kemiskinan dapat
dilihat dari tiga dimensi, yaitu:
◘
dimensi makro;
◘
dimensi mezzo; dan
◘
dimensi mikro
Di
bawah ini akan diuraikan secara singkat temuan yang ada,
dikaitkan dengan dimensi yang digunakan untuk menganalisis
kemiskinan.
Dimensi
Makro: Kesenjangan Pembangunan Desa - Kota.
Kesenjangan
pembangunan antara ‘desa’ (daerah minus) dan ‘kota’ (daerah surplus) merupakan
salah satu faktor penyebab utama terciptanya migrasi desa kota yang tak
terkendali, yang sering juga disebut sebagai urbanisasi. Pemusatan pembangunan
pada kotakota besar membuat kota-kota besar semakin menjulang sedangkan daerah
pedesaan menjadi terpinggirkan.
Keadaan
seperti ini sudah terjadi tahun 1970-an dan terakumulasi selama bertahun-tahun
bahkan puluhan tahun. Keadaan seperti ini menyebabkan human capital yang
potensial dari daerah pedesaan, yang seharusnya difokuskan untuk membangun
daerah pedesaan justru
‘mengalir’
ke kota-kota besar dan mereka sebagian besar belum dapat berkompetisi dengan
angkatan kerja yang mendapat pendidikan di kota tersebut. Hal ini menyebabkan
mereka seringkali belum dapat memasuki ‘alur utama’ dunia pekerjaan, sehingga
tenaga kerja dari
daerah
pedesaan yang belum mempunyai ‘keterampilan yang sesuai dengan tuntutan
lapangan kerja’lebih sering masuk ke sektor informal, ataupun ‘terlempar’ ke
‘jalan’. Kesenjangan pembangunan desa dan kota bukan saja terlihat dari
pembangunan fisik dan ekonomi saja, akan tetapi terlihat juga antara lain pada
pembangunan sector pendidikan, kesehatan, sosial, teknologi , dan juga sarana
hiburan (rekreasional). Kesenjangan pembangunan ‘desa’–‘kota’ ini pada sisi
berikutnya akan memunculkan kemiskinan yang multidimensi di mana masalah
kemiskinan yang muncul tidak hanya terfokus pada satu dimensi pembangunan saja,
akan
tetapi
sudah melibatkan berbagai dimensi pembangunan. Kesenjangan pembangunan selama
30 tahun lebih membuat masyarakat di daerah ‘lingkar luar pembangunan’ (yang
sebagian merupakan daerah pedesaan ataupun beberapa daerah di luar jawa)
menjadi
semakin
miskin, sedangkan mereka yang mempunyai akses terhadap pembangunan, termasuk di
dalamnya aspek ekonomi dan kekuasaan menjadi semakin kuat. Sehingga pada titik
tertentu, kemiskinan ini menjadi tenaga pendorong berpindahnya human capital
dari daerah ‘lingkar luar pembangunan’ untuk masuk ke ‘pusat area
pembangunan’. Akan tetapi, karena kesenjangan yang sudah terjadi di berbagai
sector (seperti sudah dijelaskan di point pertama di atas) maka
tenaga
kerja dari ‘lingkar luar’ ini kurang mempunyai daya saing yang kuat dengan
mereka yang berasal dari ‘pusat area’. Sehingga terjadilah proses kemiskinan
struktural, di mana struktur yang ada membuat masyarakat semakin tersegregasi
antara mereka yang berada di ‘pusat area’ yang mempunyai akses yang lebih besar
untuk mendapatkan ‘kue pembangunan’ dan mereka yang berada di ‘lingkar luar’
yang sulit untuk mengakses ‘kue pembangunan itu’. Di antara keduanya ada yang
berada di ‘area marjinal’ yang pada satu titik tertentu mempunyai potensi untuk
masuk ke ‘pusat area’.
Sedangkan
bagi mereka yang berada di ‘luar area’ kemudian memunculkan budaya tertentu
guna membuat kehidupan yang lebih ‘enak’ menurut versi mereka sendiri. Misalnya
saja dengan mengedepankan sikap pasrah dalam menghadapi kemiskinan yang ada,
yang kemudian membentuk budaya kemiskinan. Di samping itu, ada juga yang ingin
memaksakan diri untuk masuk ke ‘area marjinal’ dengan melakukan tindak
kejahatan, di sinilah semakin terasa migrasi desa-kota yang tak terkendali juga
cenderung meningkatkan tingkat kejahatan di kota tersebut.
Dimensi
Mezzo: Melemahnya Social Trust dalam Komunitas dan Organisasi.
Social
Trust sebagai unsur
pengikat suatu interaksi social yang ‘sehat’, dan menjadi bagian utama modal
sosial, memainkan peranan penting dalam suatu upaya pembangunan. Pembangunan
sulit dibayangkan akan berjalan mencapai hasil yang optimal bila tidak ada trust
antarpelaku
pembangunan itu sendiri. Social Trust itu bukan saja berada pada dimensi
vertikal (misalnya antara pemerintah dengan warga masyarakat) tetapi juga harus
ada pada dimensi yang horisontal (misalnya antarsuku yang ada di suatu
komunitas). Hal ini pada akhirnya akan
dapat
melemahkan integrasi sosial pada komunitas, baik itu pada komunitas lokal,
regional maupun nasional. Dalam suatu organisasi, melemahnya trust ini
antara lain muncul karena adanya tenaga-tenaga yang dianggap tidak berkompeten
tetapi muncul menempati posisi tertentu. Atau karena belum adanya sistem yang
baik yang dapat menampung aspirasi dari para stakeholders dari
organisasi tersebut. Melemahnya trust dalam komunitas dapat membuat
masyarakat
bertindak anarki. Misalnya saja, melemahnya kepercayaan terhadap penegakan
hukum membuat masyarakat main hakim sendiri, dan membakar pelaku kejahatan di
tingkat lokal. Melemahnya trust ini, seperti telah diuraikan sebelumnya,
tidak jarang terkait dengan mentalitas korup yang ada pada sebagian pelaksana
pembangunan, serta anggapan bahwa masyarakat itu bodoh dan akan menerima saja
apa yang dikatakan. Padahal masyarakat
itu
juga belajar, dan salah satu yang dipelajari adalah menjadi korup. Sehingga
yang terjadi adalah proses pembusukan yang terus menerus, yang pada sisi lain
menimbulkan antipati masyarakat terhadap pelaku perubahan.
Dimensi
Mikro: Mentalitas Materialistik dan Ingin Serba Cepat (Instant).
Dimensi
berikutnya yang menjadi salah satu akar masalah dalam pembangunan dewasa ini
adalah berkembangnya mentalitas yang materialistik dan mentalitas
ingin serba cepat (instant). Perkembangan mentalitas ini pada titik
tertentu, menjadi sisi negatifyang
akhirnya akan memunculkan mentalitas korup.
Bahkan
data pada tahun 2003 menunjukkan bahwa Indonesia menempati posisi ke-97 dari
102 negara yang dipersepsikan terkorup di dunia. Mentalitas korup sudah menjadi
bagian kehidupan keseharian bangsa yang dapat dengan mudah ditemukan dalam
kehidupan sehari-hari, dari mulai korupsi ‘kecil-kecilan’ ketika mengurus Kartu
Tanda Penduduk, atau korupsi besarbesaran yang melibatkan uang ratusan milyar
rupiah.
Pengembangan
mental korup selama beberapa decade ini membuat bangsa ini menjadi bangsa yang
‘terkenal’ untuk bidang ini. Korupsi seolah-olah sudah menjadi sarapan pagi,
makan siang, dan makan malam bagi sekelompok orang di republik ini. Sehingga
hampirhampir tidak ada sektor yang tidak tersentuh oleh masalah yang keempat
ini. Bahkan pada tahun 2002, departemen yang seharusnya menjadi penjaga gawang
aspek mental dan spiritual pun menjadi salah satu, departemen yang tertinggi
dalam masalah korupsi ini. Bencana banjir, penebangan hutan yang tidak
terkendali, pengelolaan sampah dan limbah yang kurang profesional, penerimaan
pegawai yang tidak berdasarkan kualitas, pemberian proyek pada rekanan
yang
kurang berkualitas, pemberian gelar yang memfokuskan pada aspek ekonomi tanpa
melakukan edukasi, penyediaan sarana transportasi umum yang tidak memadai
merupakan beberapa contoh sederhana buah dari mental korup ini. Deretan ini
akan bertambah panjang kalau kita memperhatikan kehidupan keseharian di sekitar
kita, yang tampaknya hamper sebagian besar terimbas dengan banyaknya mentalitas
korup pada masyarakat kita. Hal yang semakin memperumit masalah adalah sudah
terlatihnya para pelaku, sehingga serumit apa pun sistem dikembangkan akan
selalu ada celah untuk melakukan korupsi. Akibat dari tindakan korupsi seperti
ini, maka jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan cenderung semakin
meningkat dari tahun ke tahun.
Masalah
lain yang muncul dari mentalitas materialistik dan ‘ingin serba cepat’ adalah lemahnya
sumber dayamanusia dan etos kerja kelompok masyarakat tertentu.
Keinginan untuk mengembangkan budaya kerja dan kemampuan yang lebih baik
seringkali hanya terbatas pada keinginan saja, tetapi belum pada tingkatan
upaya merealisasikannya secara serius dan konsisten. Sehingga investasi di
bidang pendidikan itu menjadi kurang diperhatikan.
Hal
yang muncul adalah menjadikan dunia pendidikan menjadi simbol, sehingga orang-orang
berebut mendapatkan ‘gelar’ tetapi kurang memperhatikan (concern) dengan
bertanggung jawab pada apa yang seharusnya ia kembangkan sejalan dengan
bertambahnya ‘gelar’ tersebut. Sehingga yang terjadi adalah proses ‘penawaran
gelar’ dan bukan proses pendidikan yang memberdayakan warga masyarakat.
Sehingga pada titik berikutnya akan melemahkan
kepercayaan
(trust) masyarakat terhadap orang tersebut. Hal ini tentunya akan
mempengaruhi dimensi pembangunan yang lain, yaitu dimensi mezzo dalam melihat
permasalahan pembangunan dalam kaitan dengan kemiskinan (seperti sudah
diuraikan di atas,
yaitu
melemahnya social trust pada komunitas dan organisasi).
Strategi
Penanganan Masalah Kemiskinan
Berdasarkan
pada identifikasi permasalahan yang ada di atas, maka dapat dirancang bentuk
intervensi social (social intervention) yang dapat dilakukan. Untuk
memperbaiki kondisi yang ada saat ini, intervensi social yang dilakukan
sekurang-kurangnya harus meliputi ketiga dimensi di atas, yaitu dimensi makro
(kebijakan di tingkat provinsi ataupun antarprovinsi), dimensi mezzo
(intervensi pada komunitas dan organisasi), serta dimensi mikro (intervensi
pada individu, keluarga, dan kelompok kecil). Salah satu perubahan mendasar
yang harus dilakukan adalah perubahan strategi pembangunan pada dimensi makro.
Dimensi
Makro.
Strategi
pembangunan, dalam dimensi makro, yang dilakukan oleh kota-kota besar di
Indonesia seharusnya lebih banyak memfokuskan pada upaya membangun
masing-masing kota dengan mengikutsertakan daerahdaerah ‘pemasok’ migran.
Sehingga kerja sama dengan pemda dati II asal migran tersebut perlu
dikembangkan. Konsekuensi dari hal ini adalah perlu dialokasikannya
dana
guna mengembangkan daerah asal migran tersebut. Tindakan menangkap gelandangan
dan pengemis dan memulangkan mereka kembali ke daerah asal tidak akan dapat
memecahkan masalah, karena mereka tidak merasakannya ada daya tarik dari daerah
asal yang dapat
mereka
kembangkan. Sehingga suatu hal yang relatif sia-sia, jika penertibanpenertiban
dilakukan
tetapi tidak diidentifikasikan di mana daerah asal migran tersebut; kemudian
dilakukan kerja sama dengan daerah asal migran; dan dialokasikan dana yang
relatif memadai untuk membangun daerah tersebut. Strategi pembangunan seperti
ini memang bukan strategi jangka pendek. Tetapi hal ini merupakan strategi
jangka panjang, yang harus dilakukan secara
konsisten
oleh berbagai kota-kota besar di Indonesia jika tidak ingin populasinya
meningkat secara drastis akibat meningkatnya migrasi dari daerah ke kota-kota
besar
tersebut.
Pengalokasian dana 20%--25% untuk pembangunan daerah asal migran, mungkin bukan
kebijakan yang populer bagi seorang pejabat di tingkat kota, karena akan
mengurangi anggaran pembangunan untuk kota itu sendiri. Padahal masing-masing
kota merasa bahwa pembangunan di daerah mereka masihlah kurang. Akan tetapi,
yang perlu diingat dalam strategi jangka panjang ini, adalah kesenjangan
pembangunan antara daerah asal migran dan berbagai kota besar tersebut begitu
besar. Sehingga atas biaya sebesar apapun (bukan saja biaya dalam arti ekonomi,
tapi juga biaya sosial dan psikologis) para migran akan berusaha untuk tetap
pergi dan tinggal di berbagai kota tersebut untuk mendapatkan penghasilan yang
lebih layak. Bila pengalokasian dana untuk pengembangan daerah asal migran dan
kerja sama dengan daerah asal migran itu tidak dapat dilakukan maka tindakan
represif (misalnya dengan cara penertiban umum) ataupun relief (misalnya
dengan cara memberikan paket bantuan) yang dilakukan tidaklah dapat mengatasi
permasalahan yang ada saat ini.
Dimensi
Mezzo.
Sejalan
dengan arah perubahan pada dimensi makroyang lebih menekankan pada upaya
pengembangan daerah melalui kebijakan desentralisasi serta mengaitkan
pembangunan suatu daerah dengan daerah yang lain. Maka berbagai institusi
terkait (baik itu lembaga pemerintah, lembaga non-pemerintah maupun dunia
usaha) diharapkan lebih memperhatikan proses
pengembangan
daerah asal migran dibandingkan dengan upaya pembangunan yang hanya memfokuskan
pada pemberian paket bantuan penambahan modal (income generating) yang
ternyata tidak mengangkat masyarakat dari ekonomi subsisten. Sejalan dengan
upaya untuk meningkatkan trust pada masyarakat, maka pada tingkat
organisasi perlu juga dilakukan capacity building, terutama dalam kaitan
mengembangkan pelaku perubahan yang lebih bergaya partisipatif dibandingkan
instruktif, agar tenaga yang menangani permasalahan tersebut mempunyai
kemampuan sesuai yang dibutuhkan. Kehadiran tenaga yang mempunyai kemampuan dan
mau melakukan kontak dengan masyarakat secara partisipatif (dan bukan
instruktif) merupakan salah satu kunci mengembangkan kembali kepercayaan
masyarakat.
Di
samping itu, proses capacity building pada organisasi yang memberikan
layanan guna mengentaskan kemiskinan diprasyaratkan untuk membuat jaringan (networking)
sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari proses capacity building. Di
sinilah keterkaitan antara
organisasi
pemerintah (GOs), organisasi nonpemerintah (NGOs) dan dunia usaha sangat
diperlukan untuk mengembangkan suatu daerah. Jaringan yang terjalin tidak
bermakna kalau program yang dilakukan di tingkat komunitas saling tumpang
tindih dan justru membuat masyarakat semakin memiliki ketergantungan terhadap
organisasi yang ada.
Dimensi
mikro.
Tetapi
Perubahan dalam dimensi Makro haruslah diikuti dengan perubahan terhadap
dimensi mikro. Tanpa adanya perubahan pada sikap dan perilaku dari pelaku
perubahan (dalam hal ini pelaku perubahan dari unsure pemerintah, NGOs maupun
dunia swasta) maka sulit pembangunan dalam dimensi makro akan dapat berjalan dengan
baik. Bila aparat pada organisasi pemerintah, organisasi nonpemerintah maupun
dunia usaha, serta masyarakat di
tingkat
grass-root sebagai stake-holders pembangunan masih mendukung pada
pengembangan mentalitas korup. Maka yang terjadi tetaplah pembusukan dari
dalam. Berbagai sistem pengawasan sudah dicoba dikembangkan selama beberapa
dekade pembangunan. Tetapi yang terjadi adalah semakin mengasah keterampilan
dari mereka yang ingin memanfaatkan situasi, akibat masih cukup banyaknya
pelaku perubahan yang bermentalitas korup. Dalam kaitan dengan hal ini, upaya
pembangunan yang memfokuskan pada perbaikan mentalitas pelaku
perubahan
akhirnya tidak boleh dilalaikan. Bila hal ini dilalaikan, maka yang terjadi
adalah kebocoran demi kebocoran, yang akhirnya menjadi proses alih ‘teknologi’
dalam menggerogoti anggaran pembangunan dari satu generasi ke generasi yang
lain. Perbaikan sistem pengawasan yang ada, haruslah diikuti dengan upaya
perbaikan mentalitas materialistik dan ingin serba cepat yang banyak merasuki
masyarakat kita. Hal ini bukan berarti, bahwa materi itu tidak
penting.
Akan tetapi, perubahan itu memerlukan tahapan tersendiri dan ‘keserakahan’ itu
justru dapat menghancurkan. Hal-hal itu juga perlu diingat kembali oleh mereka.
Disini, peningkatan kesadaran masyarakat melaluipendidikan masyarakat (community
education) dan pemasaran sosial haruslah diikuti dengan perilaku yang
diawali dari tingkat individu pelaku perubahan itu sendiri. Dengan demikian,
masyarakat merasa yakin bahwa mereka saat ini tidak sedang dibohongi, baik oleh
elite di pemerintahan, organisasi non-pemerintah, swasta maupun elite di
tingkat lokal.
Referensi :
Referensi :
Bernard C.K. Choi dan Anita
W.P. Pak, “Multidisciplinarity, Interdisciplinarity and Transdisciplinarity in
Health Research, Services, Education and Policy: 1. Definitions, Objectives,
and Evidence of Effectiveness,” dalam Clin Invest Med, 29 (6), 2006
Paisley, W. (1990),
“Information Science as a Multidiscipline” dalam Information Science –
The Interdisciplinary Context, ed. J. M. Pemberton dan A.E. Prentice, New York
Suharto, Edi (1997),
Pembangunan, Kebijakan Sosial dan Pekerjaan Sosial: Spektrum Pemikiran,
Bandung: Lembaga Studi Pembangunan-STKS
--------, (2004), “Social
Welfare Problems and Social Work in Indonesia: Trends and Issues” (Masalah
Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial di Indonesia: Kecenderungan dan Isu),
makalah yang disampaikan pada International Seminar on Curriculum Development
for Social Work Education in Indonesia, Bandung: Sekolah Tinggi Kesejahteraan
Sosial, 2 Maret
--------. dkk., (2004),
Kemiskinan dan Keberfungsian Sosial: Studi Kasus Rumah Tangga Miskin di
Indonesia, Bandung: STKSPress
Tulisan ini sangat menarik dan bermanfaat tidak saja bagi para mhs tetapi juga bagi para dosen & peneliti. Tulisan ini akan jauh lebih menarik dan bermutu jika disertai dgn daftar bacaan / referensi. Bravo, keep going
BalasHapusterima kasih atas sarannya, sekarang saya sudah memasukan referensinya, salam hangat ...
Hapus